Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian
yaitu, libas, tsiyab, dan sarabil. Kata libas ditemukan
sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali,
sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat.
Libas pada mulanya berarti penutup --apa pun yang ditutup.
Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, perlu
dicatat bahwa ini tidak harus berarti "menutup aurat", karena
cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas, dan
pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.
Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14
menyatakan bahwa,
Dan kamu mengeluarkan dan laut itu perhiasan (antara
lain mutiara) yang kamu pakai.
Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian
lahir maupun batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk
menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata tsaub
yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan
semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide
pertamanya.
Ungkapan yang menyatakan, bahwa "awalnya adalah ide dan
akhirnya adalah kenyataan", mungkin dapat membantu memahami
pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan
harus dikembalikan kepada ide asal, karena kenyataan adalah
cerminan dari ide asal.
Apakah ide dasar tentang pakaian?
Ar-Raghib Al-Isfahani --seorang pakar bahasa Al-Quran--
menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide
dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika
bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi
pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar
keberadaannya. Hemat penulis, ide dasar juga dapat
dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia
pertama tentang dirinya.
Al-Quran surat Al-'Araf (7): 20 menjelaskan peristiwa ketika
Adam dan Hawa berada di surga:
Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk
menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari
mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, "Tuhan kamu
melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua
tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang
yang kekal (di surga)."
Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:
...setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang)
itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan
mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga...
Terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri
manusia adalah "tertutupnya aurat", namun karena godaan setan,
aurat manusia terbuka. Dengan demikian, aurat yang ditutup
dengan pakaian akan dikembalikan pada ide dasarnya. Wajarlah
jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti "sesuatu yang
mengembalikan aurat kepada ide dasarnya", yaitu tertutup.
Dan ayat di atas juga tampak bahwa ide "membuka aurat" adalah
ide setan, dan karenanya "tanda-tanda kehadiran setan adalah
"keterbukaan aurat". Sebuah riwayat yang dikemukakan oleh
Al-Biqa'i dalam bukunya Shubhat Waraqah menyatakan bahwa
ketika Nabi Saw. belum memperoleh keyakinan tentang apa yang
dialaminya di Gua Hira --apakah dari malaikat atau dari
setan-- beliau menyampaikan hal tersebut kepada istrinya
Khadijah. Khadijah berkata, "Jika engkau melihatnya lagi,
beritahulah aku". Ketika di saat lain Nabi Saw. melihat
(malaikat) yang dilihatnya di Gua Hira, Khadijah membuka
pakaiannya sambi1 bertanya, "Sekarang, apakah engkau masih
melihatnya?" Nabi Saw. menjawab, "Tidak, ... dia pergi."
Khadijah dengan penuh keyakinan berkata, "Yakinlah yang datang
bukan setan, ... (karena hanya setan yang senang melihat
aurat)".
Dalam hal ini Al-Quran mengingatkan:
Wahai putra-putra Adam, janganlah sekali-kali kamu
dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia (telah menipu
orang tuamu Adam dan Hawa) sehingga ia telah
mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia
menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan
kepada keduanya aurat mereka berdua (QS Al-A'raf [7]:
27).
Kata ketiga yang digunakan Al-Quran untuk menjelaskan perihal
pakaian adalah sarabil. Kamus-kamus bahasa mengartikan kata
ini sebagai pakaian, apa pun jenis bahannya. Hanya dua ayat
yang menggunakan kata tersebut. Satu di antaranya diartikan
sebagai pakaian yang berfungsi menangkal sengatan panas,
dingin, dan bahaya dalam peperangan (QS Al-Nahl [16]: 81).
Satu lagi dalam surat Ibrahim (14): 50 tentang siksa yang akan
dialami oleh orang-orang berdosa kelak di hari kemudian:
pakaian mereka dari pelangkin. Dari sini terpahami bahwa
pakaian ada yang menjadi alat penyiksa. Tentu saja siksaan
tersebut karena yang bersangkutan tidak menyesuaikan diri
dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah Swt.
PAKAIAN DAN FITRAH
Dari ayat yang menguraikan peristiwa terbukanya aurat Adam,
dan ayat-ayat sesudahnya, para ulama menyimpulkan bahwa pada
hakikatnya menutup aurat adalah fitrah manusia jrang
diaktualkan pada saat ia memiliki kesadaran.
Seperti dikemukakan ketika menjelaskan arti tsaub, manusia
pada mulanya tertutup auratnya. Ayat yang menguraikan hal ini
menggunakan istilah li yubdiya lahuma ma~ wuriya 'anhuma min
sauatihima (untuk menampakkan kepada keduanya apa yang
tertutup dari mereka, yaitu auratnya) (QS Al-A'raf [7]: 20).
Penggalan ayat itu bukan saja mengisyaratkan bahwa sejak
semula Adam dan Hawa tidak dapat saling melihat aurat mereka,
melainkan juga berarti bahwa aurat masing-masing tertutup
sehingga mereka sendiri pun tidak dapat melihatnya.
Kemudian setan merayu mereka agar memakan pohon terlarang, dan
akibatnya adalah aurat yang tadinya tertutup menjadi terbuka,
dan mereka menyadari keterbukaannya, sehingga mereka berusaha
menutupinya dengan daun-daun surga. Usaha tersebut menunjukkan
adanya naluri pada diri manusia sejak awal kejadiannya bahwa
aurat harus ditutup dengan cara berpakaian.
Perlu diperhatikan pula kalimat yang dipergunakan Al-Quran
untuk menyatakan usaha kedua orang tua kita, "Wa thafiqa
yakhshifan 'alaihima min waraq al-jannah."
Kata yakhshifan terambil dari kata khashf yang berarti
menempelkan sesuatu pada sesuatu yang lain agar menjadi lebih
kokoh. Contoh yang dikemukakan oleh pakar-pakar bahasa adalah
menempelkkan lapisan baru pada lapisan yang ada dari alas
kaki, agar lebih kuat dan kokoh.
Adam dan Hawa bukan sekadar mengambil satu lembar daun untuk
menutup auratnya (karena jika demikian pakaiannya adalah
mini), melainkan sekian banyak lembar agar melebar, dengan
cara menempelkan selembar daun di atas lembar lain, sebagai
tanda bahwa pakaian tersebut sedemikian tebal, sehingga tidak
transparan atau tembus pandang.
Hal lain yang mengisyaratkan bahwa berpakaian atau menutup
aurat merupakan fitrah manusia adalah penggunaan istilah "Ya
Bani Adam" (Wahai putra-putri Adam) dalam ayat-ayat yang
berbicara tentang berpakaian.
Panggilan semacam ini hanya terulang empat kali dalam
Al-Quran. Kesan dan makna yang disampaikannya berbeda dengan
panggilan ya ayyuhal ladzina amanu yang hanya khusus kepada
orang-orang mukmin, atau ya ayyuhan nas yang boleh jadi hanya
ditujukan kepada seluruh manusia sejak masa Nabi Saw. hingga
akhir zaman. Panggilan ya Bani Adam jelas tertuju kepada
seluruh manusia. Bukankah Adam adalah ayah seluruh manusia?
Hanya empat kali panggilan ya Bani Adam dalam Al-Quran, dan
semuanya terdapat dalam surat Al-'Araf, yaitu:
1. Ayat 26 berbicara tentang macam-macam pakaian yang
dianugerahkan Allah.
2. Ayat 27 berbicara tentang larangan mengikuti setan
yang menyebabkan terbukanya aurat orang tua manusia
(Adam dan Hawa).
3. Ayat 31 memerintahkan memakai pakaian indah pada
saat memasuki masjid.
4. Ayat 35 adalah kewajiban taat kepada tuntunan Allah
yang disampaikan oleh para rasul-Nya (tentu termasuk
tuntunan berpakaian).
Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah Swt. telah mengilhami
manusia sehingga timbul dalam dirinya dorongan untuk
berpakaian, bahkan kebutuhan untuk berpakaian, sebagaimana
diisyaratkan oleh surat Thaha (20): 117-118, yang mengingatkan
Adam bahwa jika ia terusir dari surga karena setan, tentu ia
akan bersusah payah di dunia untuk mencari sandang, pangan,
dan papan. Dorongan tersebut diciptakan Allah dalam naluri
manusia yang memiliki kesadaran kemanusiaan. Itu sebabnya
terlihat bahwa manusia primitif pun selalu menutupi apa yang
dinilainya sebagai aurat.
Dari ayat yang berbicara tentang ketertutupan aurat, ditemukan
isyarat bahwa untuk merealisasikan hal tersebut, manusia tidak
membutuhkan upaya dan tenaga yang berat. Hal ini diisyaratkan
oleh bentuk pasif yang dipilih Al-Quran untuk menyebut
tertutupnya aurat Adam dan Hawa, yakni ayat 22 surat Al-A'raf
yang dikutip pada awal uraian ini: "yang tertutup dan mereka
yaitu aurat mereka."
Menutup aurat tidak sulit, karena dapat dilakukan dengan bahan
apa pun yang tersedia, sekalipun selembar daun (asalkan dapat
menutupinya).
FUNGSI PAKAIAN
Dari sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang
pakaian, dapat ditemukan paling tidak ada empat fungsi
pakaian.
Al-Quran surat Al-A'raf (7): 26 menjelaskan dua fungsi
pakaian:
Wahai putra putri Adam, sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan
juga (pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan), dan
pakaian takwa itulah yang paling baik.
Ayat ini setidaknya menjelaskan dua fungsi pakaian, yaitu
penutup aurat dan perhiasan.
Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat di atas berbicara
tentang fungsi ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa, dalam arti
pakaian dapat menghindarkan seseorang terjerumus ke dalam
bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhrawi.
Syaikh Muhammad Thahir bin 'Asyur menjelaskan jalan pikiran
ulama yang berpendapat demikian. Ia menulis dalam tafsirnya
tentang ayat tersebut:
Libasut taqwa dibaca oleh Imam Nafi' ibnu Amir,
Al-Kisa'i, dan Abu Ja'far dengan nashab (dibaca libasa
sehingga kedudukannya sebagai objek penderita). Ini
berarti sama dengan pakaian-pakaian lain yang
diciptakan, dan tentunya pakaian ini tidak berbentuk
abstrak, melainkan nyata. Takwa yang dimaksud di sini
adalah pemeliharaan, sehingga yang dimaksud dengannya
adalah pakaian berupa perisai yang digunakan dalam
peperangan untuk memelihara dan menghindarkan
pemakainya dari luka dan bencana lain.
Ada juga yang membaca libasu at-taqwa, sehingga kata tersebut
tidak berkedudukan sebagai objek penderita. Ketika itu, salah
satu makna yang dikandungnya adalah adanya pakaian batin yang
dapat menghindarkan seseorang dari bencana duniawi dan
ukhrawi.
Betapapun, ditemukan ayat lain yang menjelaskan fungsi ketiga
pakaian, yakni fungsi pemeliharaan terhadap bencana, dan dari
sengatan panas dan dingin,
Dia (Allah) menjadikan untuk kamu pakaian yang
memelihara kamu dari sengatan panas (dan dingin), serta
pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam
peperangan... (QS Al-Nahl [16]: 81).